Jakarta - Seringkali mulut kita tidak tahan untuk tidak berkomentar. Alhasil, dalam sejam saja, sudah ratusan komentar kita 'persembahkan' untuk orang lain. Kita menghadiahi hati orang dengan ucapan-ucapan atas kelakuan yang dibuatnya, versi kita sendiri. Sementara di saat yang sama, karena sibuk mengurusi perilaku orang lain, kita jadi lupa dengan kelakuan diri sendiri.
Lihatlah diri kita sendiri yang mungkin kerap menyuruh anak kita tidak berbohong dan beberapa menit kemudian, menyuruh anak menerima tamu dengan mengatakan, "Bilangin, ayah sedang keluar kota!" Atau seorang yang kerap meminta anaknya disiplin belajar, tapi tepat saat jam belajar sang anak, dia asyik menonton sinetron yang dibintangi artis pujaannya, dan itu dilakukan hanya beberapa jengkal dari kamar anaknya.
Rasulullah mengatakan, "innama bu'itstu liutammina makarima al-akhlaq (sesungguhnya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia)".
Persoalan akhlaq adalah persoalan kebiasaan. Jika seseorang terbiasa dengan lingkungan yang jelek, maka sedikit banyak akhlaqnya ikut menjadi jelek. Namun, yang paling utama adalah, bahwa akhlaq itu adalah hasil kerja keras. Dalam sebuah pemeo disebutkan, manusia itu cenderungnya jahat, kikir, dan sombong. Maka, jika ada manusia dermawan, baik dan rendah hati, maka percayalah, itu adalah hasil dari latihan berat. Latihan melawan kodratnya yang bersifat buruk.
Mengapa seorang pimpinan sering dilecehkan? Atau mengapa seseorang kehilangan kepercayaan? Itu terjadi biasanya karena orang tersebut kurang berbuat dan terlalu banyak berbicara. Mulut yang manis indah penuh retorika tidak cukup, dan perlu dibuktikan dengan perilaku yang meyakinkan.
Teladan, atau contoh adalah sebuah kunci bagi masyarakat yang sedang sakit. Ketika di negara ini digemborkan slogan hemat energi, kenyataannya gemboran itu jauh di bawah seruan untuk membeli peralatan elektronik kapasitas besar, termasuk kendaraan terbaru yang mahal.
Jadi, mulai saat ini, hentikan mulut yang liar berbicara, tapi berikanlah teladan dan contoh yang menggugah.
Sumber : Jauhi Banyak Bicara, Berikan Teladan!
Lihatlah diri kita sendiri yang mungkin kerap menyuruh anak kita tidak berbohong dan beberapa menit kemudian, menyuruh anak menerima tamu dengan mengatakan, "Bilangin, ayah sedang keluar kota!" Atau seorang yang kerap meminta anaknya disiplin belajar, tapi tepat saat jam belajar sang anak, dia asyik menonton sinetron yang dibintangi artis pujaannya, dan itu dilakukan hanya beberapa jengkal dari kamar anaknya.
Rasulullah mengatakan, "innama bu'itstu liutammina makarima al-akhlaq (sesungguhnya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia)".
Persoalan akhlaq adalah persoalan kebiasaan. Jika seseorang terbiasa dengan lingkungan yang jelek, maka sedikit banyak akhlaqnya ikut menjadi jelek. Namun, yang paling utama adalah, bahwa akhlaq itu adalah hasil kerja keras. Dalam sebuah pemeo disebutkan, manusia itu cenderungnya jahat, kikir, dan sombong. Maka, jika ada manusia dermawan, baik dan rendah hati, maka percayalah, itu adalah hasil dari latihan berat. Latihan melawan kodratnya yang bersifat buruk.
Mengapa seorang pimpinan sering dilecehkan? Atau mengapa seseorang kehilangan kepercayaan? Itu terjadi biasanya karena orang tersebut kurang berbuat dan terlalu banyak berbicara. Mulut yang manis indah penuh retorika tidak cukup, dan perlu dibuktikan dengan perilaku yang meyakinkan.
Teladan, atau contoh adalah sebuah kunci bagi masyarakat yang sedang sakit. Ketika di negara ini digemborkan slogan hemat energi, kenyataannya gemboran itu jauh di bawah seruan untuk membeli peralatan elektronik kapasitas besar, termasuk kendaraan terbaru yang mahal.
Jadi, mulai saat ini, hentikan mulut yang liar berbicara, tapi berikanlah teladan dan contoh yang menggugah.
Sumber : Jauhi Banyak Bicara, Berikan Teladan!